“Berbagi waktu dengan alam, kau akan tau siapa dirimu yang
sebenarnya”
Soe Hok Gie (1942-1969)
Kau tau, kita bisa lakukan apapun
selama kita bermimpi. Bahkan ketika kaki krimu tak lagi bisa digunakan untuk
bertumpu, atau sendi kakimu terkilir, kram pada betis, nyeri otot paha, dan
sebagainya.. hari itu 15 pemimpi menaklukan gunung tertinggi dan terbesar di
Jawa Tengah, Gunung Selamet (3428 mdpl). dan membuktikan bahwa kalimat awal
paragraf ini adalah benar.
25 Desember 2012
Entah cuma perasaan gua atau
emang ini hari yang hambar? Pagi yang hambar, kumpul di BNI yang hambar, angkot
yang hambar, dan bis yang hambar.. ini hari pertemuan pertama bagi ke-15 anggota
laskar, mungkin masih agak canggung atau semacamnya. Belum banyak tawa dan
derita untuk dibagi bersama, hanya bertukar nama dan daerah asal. Waktu berlalu
seperti biasa, jarak puluhan kilometer berlalu begitu saja, tidak ada rasa
ataupun warna, hanya hambar.. hingga kelak Gunung Selamet meracik suatu rasa
khas yang biasa disebut sebagai “persaudaraan”.
26 Desember 2012
Hari ini kita berangkat naek
Gunung Selamet!! Secara ajaib keakraban mendadak terjalin diatas mobil kolbak
(bahasa Garutnya mobil Pick up) dari
rumah Gilang menuju kaki Gunung Selamet. Ngebanyol tanpa jeda, hanya berhenti
setelah bingung mesti ngebahas apaan lagi. “Ckck.. kaya’nya gua bakal punya
temen-temen aneh (lagi) dalam perjalanan kali ini” itu yang gua pikirin sambil
menikmati wajah Banjarnegara – Purbalingga. Sementara para kutukupret sedang
ngacoblak ga jelas, di sudut kolbak gua berusaha ga terlibat dan cuma menikmati
pemandangan, bukannya anti sosial, tapi kesan pertama itu penting bro.. sebagai
awalan gua harus terlihat dingin, ga banyak bicara, dan bikin penasaran
(bkhwahwahwa...99x), tapi ga’ tau image
tersebut berhasil terbentuk apa engga’.
Blablabla.. nyampe basecamp,
registrasi selesai, lalu kita jalan di tanah Selamet !!.. lima menit pertama
gerombolan ini masih ngacoblak ngaler ngidul, menit keenam nafas udah ga
beraturan dan seketika semua senyap. Belum nyampe pos 1, kaki kanan si Ridwan
terkilir, 1 jam setelah itu sendi pergelangan kakinya membengkak. gua tau
persis gimana rasanya terkilir, saat bengkaknya membesar maka saat itu juga
melangkah akan jadi aktifitas yang paling menyiksa. Tapi Ridwan ternyata bukan
sekedar orang teraneh se-UGM, tapi juga figur yang kuat menjaga mimpi dan
tekadnya, jika bukan karena itu maka cerita ini harusnya selesai sebelum sampai
pos 1.
Pos 1 : Pondok Gembirung, dingin
mulai menusuk, belum ada yang istimewa di pos ini, lebih tepatnya kita belum
menemukan keistimewaan pos 1 hari ini, karena yang mengejutkan selalu ada di
akhir. Target kami adalah menyelesaikan Selamet dalam 1 malam, jadi target hari
ini adalah mencapai pos 7 agar keesokan harinya bisa menikmati sunrise dari puncak lalu turun gunung
dan selesai.. 2 hari 1 malam, sungguh idealis.
Sejenak mari kita paparkan sedikit review: Gunung Selamet memiliki 6 jalur
pendakian dari 5 Kabupaten, jalur yang kami pilih adalah Bambangan di Kabupaten
Purbalingga, ini adalah jalur yang paling terkelola dengan baik, gua kurang
faham siapa pihak pengelolanya, yang jelas bukan Balai Konservasi karena ini
bukan taman nasional, kita melakukan pendaftaran pendakian di rumah seorang
yang dikenal sebagai Bu Haji, tempat itu juga biasa jadi penginapan sehingga
disebut base camp. Jalur bambangan
memiliki 7 pos dan pada beberapa pos berdiri sebuah pondokan sederhana, sumber
air bisa ditemukan di pos 2 (Pondok Walang) dan pos 5 (Samyang Rangkah).
Rincian mengenai 6 jalur pendakian, 5 kabupaten, dan 7 pos-nya mening sampean cari
literatur sendiri ye. Singkat cerita energi dan waktu kami habis di pos 5
(Samyang Rangkah) dan memutuskan mendirikan camp
disana. Sampai sini sudah banyak hal-hal ajaib terjadi, seperti jawaban dari
badak bercula satu yang bisa loncat2 adalah kangguru, lalu nama mbak Sur yang
jadi kak Sur (baca: kasur), Arif jadi Ian Kasela, Leni jadi Dede, Acoy jadi Aa,
dan gua jadi Lutfi, kalo malem jadi Talitha, agak sore Latifah, kalo habis
magrib Aceng .. ?
Berdasarkan literatur, perjalanan
dari pos 5 (2806 m dpl) menuju puncak (3432 m dpl) membutuhkan waktu 3 jam,
makanya kami harus bangun jam 3 malem
dan lanjutkan perjalanan supaya dapet sunrise
di puncak. Jam tangan si Muaz dalam hal ini sangat banyak membantu, jaman
sekarang ada jam tangan yang bisa mengukur air
pressure yang kemudian dikonversi untuk memperoleh data ketinggian suatu
tempat (dalam satuan m dpl), harganye 400 rebu, kaga’ ada di Bara, apalagi di
Garut (Peace Mam..). Singkat cerita waktu kami habis di pos 7, dan gagal
melihat sunrise dari puncak, matahari
terbit saat gua ga menyadarinya, tiba-tiba udah siang aja. Eh, di pos 7 gua
ketemu Cecen dkk, komplotan anak Fahutan 46, udah jauh-jauh minggat dari bogor
eh ketemu Cecen lagi, sempit dunia teh ya.
Ga jauh dari pos 7 yang merupakan
batas vegetasi, tajuk2 pohon tidak lagi menutupi pemandangan, dari sini Tripod
dan DSLR-nya si Muaz sungguh bener2 sangat banyak membantu sekali banget. Ritme
perjalanan berubah, mulai dari sini jalan 2 menit, foto-foto 20 menit, jalan
lagi, foto lagi, dst. Bicara tentang batas vegetasi, itu artinya sedikit lagi
di depan sana seluruh vegetasi akan sama sekali musnah. Ya, padang pasir.
Setengah dari medan antara pos tujuh menuju puncak adalah padang pasir berbatu.
Gunung Selamet adalah gunung api yang aktif, lapisan tanah di sekitar kawah
sudah terangkat oleh letusan dan yang tersisa tinggal batu dan pasir yang
berasal dari perut bumi akibat aktivitas vulkanik, seperti yang bisa kita
temukan di gunung Papandayan dan Semeru. Medan pendakian seperti ini
bener-bener menguras energi gan, tapi entah mengapa rasanya ada rindu dan
sedikit nostalgia ketika melihat hamparan pasir dan tanjakan penyiksaan di
hadapan gua. Ya sudah, gua minta izin buat jalan duluan di depan, kebetulan si
Imam nantangin gua dulu-duluan nyampe ke atas, padahal di atas udah ada trio Temanggung
yang sejak berangkat dari camp udah misah duluan. Tanjakan yang menyakitkan,
kemarin otot paha dan betis gua udah keram berkali-kali dan menyisakan nyeri
kalo dipake jalan selama berhari-hari ke depan (bahkan sampe saat tulisan ini
dibuat). Tanjakan yang melelahkan, kemiringannya paling engga diatas 300 semua,
dan konsentrasi oksigen di lingkungan ber-altitude 3000 mdpl udah menipis.
Tanjakan yang mempesona, maaf untuk yang ini keindahannya sulit untuk gua tulis,
bayangkan sebuah panorama yang membuat ototmu lupa untuk menegang dan keram,
yang membuat tubuhmu lupa untuk menggigil, dan membuat paru-paru lupa untuk
meminta istirahat. Sampai gua liat ke belakang dan sepertinya gua udah terlalu
jauh ninggalin temen-temen gua di belakang, di depan gua juga si Imam lagi
tiduran, kaya’nya enak, yaudah gua biarin punggung ini bersentuhan dengan
pasir, dan saat itu juga pandangan gua seluruhnya mengarah ke langit, okeh
merem dulu bentar.
Bangun-bangun, sekeliling gua udah
tertutup kabut tebal semua, gimana ga kaget, ini kaya’ pindah ke dunia
berikutnya (jeng jeng..) tapi di sebelah gua udah ada si kasur yang udah menyusul,
sisanya masih cukup jauh di bawah, waktu itu udah sekitar jam tujuh atau
setengah delapan, karena kerapatan uap air menurun akibat panas maka kabut
bergerak ke atas menutupi puncak, kalo diliat dari jauh akan terlihat sebagai
awan karena posisi saat ini udah diatas lapisan Stratosfer, lo tau rasanya
berada di dalam awan? Apa kayak di kartun yang bisa di injek dan di
loncat-loncatin? Ternyata rasanya biasa-biasa aja, malah kaya’ di filem horor.
Nah, akhirnya nyampe puncak,
resmi sudah 3 dari seven summit yang
ada di pulau Jawa selesai gua jelajahi, dan sekarang gua adalah orang tertinggi
di Jawa Tengah. waktu itu kalo ga salah udah hampir jam sembilan, ga usah
berharap sunrise lagi, kawah pun udah
terlalu bahaya buat dikunjungi karena gas beracunnya udah keluar. Hmph.. di sela
rasa bangga ini ada sedikit ketidakpuasan mengganjal, ada 2 PR dari ekspedisi
Selamet ini, artinya suatu waktu nanti gua harus ke sini lagi.
Sebelum itu, “Laskar Bercula Satu
yang Bisa Loncat2” hampir aja ga bisa menuntaskan perjalanan ini dengan
sempurna, karena Ichi dan Leni memilih berhenti di tengah padang pasir dan ga
melanjutkan langkah ke puncak karena terlalu lelah dan sakit, kabar itu datang
dari si Acoy yang baru nyampe puncak, mendengar itu langsung si Imam ngambil
air minum, susu, dan kopi, diseduh dalam botol besar lalu kembali menuruni
tanjakan pasir untuk menyusul Leni dan Ichi. Urgensi disini bukan air, kopi,
atau susu. Adakalanya semangat yang lo pupuk sejak awal serentak musnah sama
sekali tersibak kabut dan pasir, tak perlu khawatir, karena lo ga sendiri, akan
ada orang disamping lo, menepuk pundak lo, dan menyalurkan energi yang gua ga
ngerti gimana penjelasannya, ini yang dimaksud urgensi sahabat perjalanan. Di
sini sang kapten mengambil peran.
Okeh, sekarang semua anggota
laskar udah berdiri di atap Jawa Tengah, mari sejenak kita nikmati rasa bangga
dari capaian yang kita raih setelah mengalahkan semua rasa lelah dan sakit.
Waktu itu kabut masih agak tebal, menjadi satu dari ribuan unsur yang membuat
tempat ini terlihat cantik. Meski kawah sudah tidak aman untuk di kunjungi,
tapi asap-asap kecil yang keluar memperkuat kesan dari bibir kawah yang ranum.
Aneh, padahal yang kita lakukan hanya berdiri di atas tumpukan pasir, tapi
bagaimana menjelaskan kegembiraan ini. Jadi, bagaimana cara kita merayakan
kesuksesan ini? Sudah jelas, mari fungsikan DSLR-nya Mu’az.
Hari semakin siang, puncak
semakin ga aman untuk didiami lebih lama lagi, dan kita putuskan untuk turun. Dalam
kasus dan bagi orang-orang tertentu, turun tuh bisa jadi lebih berat daripada
naek, tapi kemarin saat membuat planing
pemahaman yang kita gunakan masih common
sense, bahwa turun gunung ga bakal makan waktu lama. Asumsinya, sore atau
malam ini kita udah nyampe ke rumah Gilang lagi, lalu besok pagi balik ke
bogor. Dan..... kenyataan berkata, jam sebelas-an malem kita baru nyampe pos 2
(ini singkat cerita ya). Semua udah buener-bener cuape’, kaki udah sakit luar
biadab, semua semangat udah larut dalam gelap malam dan tajuk hutan hujan
tropis yang lebat. Kita istirahat agak lama di pos 2, si imam masak mie,
yang laen molor, gua bantuin imam ngabisin mie (setelah molor), di pos ini kita
juga diskusi tentang planing pulang,
dan mengambil keputusan tetap pada rencana awal: menuntaskan Selamet dalam satu
malam, karena udah males kalo harus ngediriin tenda lagi, mening jalan aja
semampunya ampe base camp.
Malam itu rembulan hampir
sepenuhnya menampilkan jati dirinya, tapi karna kabut juga sepenuhnya menutupi
cahaya luar, maka yang sampai pada saat itu hanya kegelapan. Satu-persatu
senter yang dibawa anggota laskar keabisan energi, ada yang bener-bener mati
ada juga yang meredup, ada juga yang cuma pake senter korek. Kebetulan head lamp yang gua bawa ni ga ada
matinya, jadi satu-satunya senter yang masih sehat saat itu, gua (seperti
biasa) ditempatin di belakang buat ngasih cahaya ke temen-temen di depan.
Sumpah, situasinya waktu itu gelap bener, hari sebelumnya kita naek dari pos 1
ke pos 2 cuma butuh waktu 2 jam-an, tapi malam itu kita udah turun lebih dari 3
jam dan belum ada tanda-tanda pos 1 di depan. Waktu berjalan sangat lamban
daripada biasanya, langkah juga melamban karena gelap lelah dan sakit, entah
butuh waktu berapa lama lagi untuk sampai pos 1, ga ada yang tau. Seharusnya
pos 1 ga sejauh ini, atau mungkin kita salah jalan? Apa yang lo rasain ketika
tersesat di tengah hutan malem-malem kedinginan dan tinggal nunggu waktu sampai
seluruh senter abis batrenya? Widya terus-terusan nanya apa jalan ini bener,
Kasur juga sempet dibuat ragu, menurut gua ga ada yang lebih bahaya dibanding
kepanikan. Dalam situasi mental kaya gini, ga’ mungkin gua ceritain tentang apa
yang gua baca dari buku, tentang mengapa pos 4 diberi nama “samaranthu” (hantu
samar), dan tentang dua pohon yang beradu membentuk gerbang yang katanya adalah
perbatasan antara dua dunia. Saat itu gua juga agak,, gimana ya, lo tau kan
posisi gua paling belakang, saat semua fokus melangkah dalam kegelapan, suasana
sama sekali hening tanpa suara, saat itu juga gua tiba-tiba denger derap
langkah di belakang gua, dan kadang ada suara gesekan ilalang yang ga wajar
seolah ada yang ngikutin kita dari belakang, gua juga ngerasa ada orang yang
ngomong sesuatu jauh dari belakang gua tapi ga jelas apa yang disampein,
suara-suara itu gua rasain sepanjang jalan, di momen yang sama saat kita ragu
bahwa kita ada pada jalan yang bener menuju pos 1.
Widya nanya untuk yang terakhir
kalinya “ini jalannya bener ga sih?” pertanyaan-pertanyaan yang sama sebelumnya
ga gua jawab, tapi kali ini ga ada pilihan laen, gua harus jawab “bener qo wid,
jarak dari pos 2 ke pos 1 emang panjang, jarak pos terpanjang di jalur
Bambangan ya jarak pos ini, kalo kemaren pas berangkat kita kebetulan aja
jalannya cepet, jadi dua jam nyampe, kalo sekarang kan susah, lagian ga mungkin
ada trek salah, kecuali kita nerabas trek baru, kalo ngikutin trek yang udah
terbuka mah pasti bener”. Itu jawaban paling so’ tau bahkan menurut gua
sendiri, ga ada literatur yang menyatakan bahwa ini jarak antar pos yang
terpanjang, bodo amat, yang penting menurut gua saat ini ga boleh ada yang
punya fikiran mengarah pada kepanikan. Tentang suara-suara ga jelas di belakang
gua, anggap aja ga ada, lagian palingan gua salah denger aja kan. Gua bakalan
malu ama diri sendiri kalo sempet sedikit aja punya fikiran lemah, karena di
hari sebelumnya, gua dengan sangat so’ keren berkata begini ama si Widya: “kalo
bisa jalan sendiri mening ga usah dikit-dikit minta dibantuin wid, kalo cape ya
istirahat, ga pake ngeluh, fungsi pendakian gunung kan ngelatih jiwa dan
fikiran kita untuk jadi lebih kuat.” Saat itu Widya terdiam dengan mata
berkaca-kaca, sambil menatap punggung gua yang perlahan menjauh berjalan di
depannya, persis kaya’ di felem-felem (catatan: sebagian dari paragraf ini
hanya fiktif belaka).
Dan.. inilah pos 1, waktu itu gua
ga tau jam berapa, mungkin jam dua atau tiga-an lah. Sebenernya ngantuk banget,
tapi kapten udah bilang kita harus nyampe basecamp malem ini, jadi gua berusaha
untuk ga tidur. Tapi, dimana si kapten? Oia, gua belum cerita bahwa di pos 1
ada satu bangunan permanen agak gede yang biasa dibuat nge-camp, lumayan lah buat nganget dikit atau berlindung dari hujan,
nah di bagian timur pondokan itu terbaringlah seorang kucluk yang selama ini
memimpin perjalanan: si Imam molor. Wokeh, sudah diputuskan, tanpa banyak
instruksi masing-masing anggota laskar ngeluarin matras dan sleeping bag, ga usah pake tenda, molor
molor aja teserah lah..
28 Desember 2012
Lo pernah denger lagu tentang
negeri di awan? Itu tempat dimana kedamaian menjadi istananya, nih gua punya
tebak-tebakan, lobang apa yang sanggup membuat orang kesulitan menahan air mata
bahagia? Jawabannya: lobang-un pagi-pagi langsung menghadap timur dari
ketinggian 1993 mdpl di pos 1-nya gunung
Slamet. Ya, ini sun rise yang gagal
gua liat kemaren, oranye redup itu selalu saja mempesona jika dilihat dari atas
awan, ia akan membawa hangat dan lupa bahwa kau sedang menggigil, awan-awan
tebal itu berusaha menyembunyikan sebagian kecantikan surya, tapi yang mereka
lakukan justru menambah bukti kehebatan ciptaan-Nya dan menyelimuti siapapun
yang butuh kelembutannya. Bonusnya, ternyata puncak gunung Sumbing dan Sindoro
terlihat jelas dari sudut ini, hanya puncaknya saja, seakan gunung kembar itu
berdiri di atas awan, ditambah arsitektur dari topografi Jawa Tengah yang belum
pernah gua liat sebelumnya, lanskapnya bergelombang seolah mereka bukan
daratan. Semua terlihat kecil, matahari, gunung SuSi (Sumbing Sindoro), sawah,
rumah, Jawa Tengah, semuanya kecil. Gunung yang sejak kemarin membuat kita
lelah ternyata hanya sebagian kecil dari kebesaran kuasa-Nya, lalu sekecil apa
kita manusia ?
“Berbagi waktu dengan alam, kau akan tau siapa dirimu yang
sebenarnya”
Soe Hok Gie (1942-1969)