Thursday, January 12, 2012

Mesuji: Seruan Reforma Agraria

“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” – Bung Karno


Masih hangat di telinga kita berita bentrokan dan penggusuran trehadap masyarakat yang terjadi di daerah lampung dan Sumatera Selatan. Penggusuran ini melibatkan PT Barat Selatan Investindo di Desa Sri Tanjung, PT Sylva Inhutani dan PT Sumber Wangi Alam di register 45 dan Desa Sungai Sodong. Penggusuran terjadi karena perluasan areal perkebunan di kawasan hutan yang sudah ditempati warga terlebih dahulu.

Sebagian orang menyebutkan bahwa masyarakat yang menempati kawasan hutan milik negara tanpa dokumen kepemilikan lahan yang sah adalah masyarakat perambah, padahal masyarakat sudah membuat perkampungan di Register 45 sejak tahun 1989, jauh sebelum penunjukan kawasan hutan dilakukan. Dalam standar pengukuhan kawasan hutan yang tertuang di SK Menhut nomor 32/Kpts-II/2001 pasal 7 ayat 2 mensyaratkan kriteria status areal yang ditata batas sebagai kawasan hutan haruslah bebas dari hak-hak pihak ke-tiga, tetapi yang terjadi adalah klaim areal register 45 sebagai tanah negara meski secara historis tanah tersebut adalah milik masyarakat setempat, hanya saja negara belum melengkapi administrasi negara untuk memberikan pengakuan secara hukum bahwa tanah tersebut adalah milik masyarakat. Silakan disimpulkan, ini masyarakat yang menyerobot tanah negara atau negara yang menyerobot tanah masyarakat?

Puluhan tahun masyarakat hidup selaras dengan alam di tanahnya sendiri, kemudian negara melakukan klaim kepemilikan tanah negara dengan status kawasan hutan di lahan tersebut, lantas menggusur dan menganiaya masyarakat di sana, menghancurkan rumah mereka, merusak kebun mereka,dan membunuh pemuda-pemuda mereka. Apa ini namanya kalau bukan penjajahan?

Konflik tenurial atau konflik agraria di Mesuji, Sodong, dan Register 45 bukanlah kasus konflik tenurial yang pertama. Walhi mencatat sepanjang 2011 hingga November, jumlah kasus konflik agraria sudah mencapai 102 kasus, penjajahan terhadap masyarakat sudah sangat sering terjadi dan akan akan terus terjadi jika tidak segera diberlakukan reforma agraria, tata penguasaan lahan Indonesia perlu dibenahi dengan menempatkan kepentingan masyarakat dalam skala prioritas utama. Kalau tidak, hanya masalah waktu munculnya Mesuji-Mesuji lain di belahan lain negara ini.

Saat ini luas areal yang ditunjuk sebagai kawasan hutan di Indonesia adalah 136,5 juta hektar, lebih dari 60% luas daratan Indonesia dengan 48,8 juta orang tinggal di hutan negara dan 6 juta diantaranya kehidupannya bergantung dari hutan. Sementara itu, masyarakat hutan baru dianggap legal untuk menempati kawasan hutan setelah melalui prosedur permohonan penggunaan kawasan hutan sebagaimana termaktub dalam PP nomor 06 tahun 2001 pasal 93, sehingga 48,8 juta orang yang tinggal di kawasan hutan tanpa sebelumnya mengajukan permohonan secara de jure dianggap ilegal dan sah untuk digusur kapan saja kalau mau. Mari kita renungkan sejenak, logika berfikir seperti apa yang kita gunakan sehingga kita menganggap benar bahwa masyarakat hutan harus memohon-mohon untuk melakukan pemanfaatan di tanahnya sendiri?

Pasal 33 UUD 45 mengamanatkan Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Indonesia terkenal akan kekayaan hutannya, tetapi masyarakatnya miskin, masyarakat yang memanfaatkan hutan dibilang menjarah, pemerintah seolah tidak suka melihat masyarakat mencari kesejahteraan dari hutan. Hingga saat ini preferensi pemerintah dalam memberikan izin pemanfaatan di kawasan hutan masih berpihak pada perusahaan-perusahaan besar dengan dalih kegiatan pemanfaatannya lebih rapih dan profesional, tapi nyatanya degradasi hutan memburuk, deforestasi mencapai angka 1,8 juta hektar pertahun.

Hutan negara vs hutan rakyat

Dalam keynote speech-nya pada acara Semiloka Nasional Sylva Indonesia, Direktur Bina Hutan Alam Kementrian Kehutanan Muhammad Awriya Ibrahim menginformasikan bahwa saat ini ada 288 perusahaan pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam (IUPHHK-HA), dan hanya 80 perusahaan yang aktif. Perusahaan dinyatakan non aktif ketika tidak sanggup menyusun Rencana Kerja Sepuluh Tahun (RKU) berbasis Inventarisasi Hutan Menyeluruh Berkala (IHMB), biaya IHMB yang besar tidak sebanding dengan profit yang diperoleh dari proses produksi. Degradasi dan deforestasi telah berimplikasi pada kelangkaan bahan baku industri kayu yang kemudian menyebabkan  kebangkrutan, di tahun 2011 ini dari total luas konsesi IUPHHK-HA 25,7 juta hektar pemerintah menetapkan Jatah Produksi Tebang (JPT) sebanyak 10 juta meter kubik, dan hanya terealisasi 4 juta meter kubik. semakin terlihat bahwa performance pengelolaan hutan skala besar mulai terseok-seok.

Prinsipnya pengelolaan hutan berkelanjutan harus mempertimbangkan kelestarian ekologi, kelestarian ekonomi, dan kelestarian sosial, jika salah satu komponen tersebut tidak lestari maka komponen lainnya akan terpengaruhi. Nilai ekonomi hutan akan lumpuh jika hak akses masyarakat terhadap hutan dikebiri, begitu juga lingkungan biofisiknya. Kemiskinan masyarakat hutan, kerusakan hutan, dan menurunnya produktivitas hutan akan menjadi lingkaran setan yang tidak berujung pangkal.

Mari sejenak kita beralih ke pembahasan hutan rakyat. Sementara large scale forestry sedang menunggu ajal, pembangunan hutan yang diprakarsai oleh sekelompok masyarakat mulai menunjukan gairah yang signifikan. Data dari BPS menunjukkan bahwa luas hutan rakyat Indonesia 1.560.229 hektar dengan potensi kayu 39.564.003 meter kubik, dan jumlah batang 226.080.019 pohon. Jumlah pohon siap tebang sekitar 78.485.993 batang atau setara dengan potensi kayu 19.621.480 meter kubik. Bandingkan dengan produktivitas hutan negara yang hanya 4 juta meter kubik, pengelolaan hutan negara yang memicu degradasi dan deforestasi, yang memarjinalkan hak-hak masyarakat.

Reforma agraria

Tidak pernah ada catatan keberhasilan dalam pengelolaan hutan oleh negara, sebaliknya keberhasilan pengelolaan hutan berkelanjutan pada hutan rakyat sangat mencengangkan. Artinya sudah tidak perlu lagi mempertanyakan kapasitas masyarakat dalam mengelola hutan, lalu apa lagi alasan negara menutup akses masyarakat terhadap hutan?

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menjelaskan Reforma agraria sebagai re-strukturisasi kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah dan kekayaan alam untuk kepentingan petani, buruh tani, masyarakat adat dan rakyat kecil  atau golongan ekonomi lemah pada umumnya sehingga tercipta keadilan dan kesejahteraan. Tingginya jumlah konflik tenurial di wilayah hutan yang disertai dengan tindakan pelanggaran hak asasi manusia, seperti pengusiran, penembakan, pembakaran rumah penduduk di dalam kawasan hutan.
Data KPA menunjukkan, sampai tahun 2001 dari 1.753 kasus konflik agraria, terdapat 141 kasus karena pembangunan hutan produksi dan 44 kasus terkait dengan pembangunan hutan konservasi. Sebanyak 1.7 juta hektar luas tanah yang disengketakan. Lidah Tani & LBH semarang mencatat bahwa dari tahun 1998-2008 telah terjadi penembakan dan penganiayaan terhadap 69 petani karena berkonflik dengan Perhutani.

Reforma agraria bisa berwujud land reform dan/atau acces reform, land reform berarti penantaan ulang kepemilikan lahan, sedangkan acces reform menata ulang hak pemanfaatan lahan tanpa pengalihan kepemilikan. Apapun wujudnya, reforma agraria perlu dilakukan dengan menempatkan kepentingan masyarakat sebagai pertimbangan utama, cukup dengan memberikan masyarakat kepastian kepemilikan lahan dengan pelepasan kawasan hutan atau sekedar kepastian hak akses pemanfaatan kawasan hutan, dengan begitu kelestarian dan peningkatan produktivitas hutan akan berangsur membaik.

Tantangan reforma agraria adalah main stream developmentalis yang deras dalam penentuan kebijakan pengelolaan sumberdaya yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi negara. Pada akhir kuartal selalu saja negara mempublikasikan data pertumbuhan ekonomi, sedangkan rakyat miskin merasa nasibnya tidak berubah. Kasus Mesuji, Sodong, dan Register 45 sudah sepetutnya menjadi peringatan untuk memperjelas kemana seharusnya kita berpihak. Kesadaran seperti ini yang perlau dibangun oleh bangsa kita.